Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Crypto Digunakan Tiongkok untuk Kepentingan Geopolitik

 

Cina Gunakan Kripto dan CBDC Sebagai Alat Dominasi Finansial Global

Cina kini memanfaatkan aset digital—termasuk kripto dan mata uang digital bank sentral (CBDC)—sebagai instrumen strategis dalam kebijakan luar negerinya. Sebuah studi dari Study Times, jurnal resmi Partai Komunis Tiongkok, menyebut bahwa teknologi ini telah mengubah wajah perang dan sistem keuangan global.

Kripto digambarkan sebagai sarana “mobilisasi keuangan”, memungkinkan negara tetap menjaga likuiditas saat menghadapi sanksi atau instabilitas perbankan. Teknologi blockchain disebut sebagai tulang punggung logistik digital yang menghubungkan pertahanan ekonomi dengan keamanan nasional.

Studi tersebut menyoroti pergeseran medan perang ke ranah keuangan, di mana kripto menjadi infrastruktur untuk “perang total”—menggabungkan strategi deterensi, pengumpulan modal, dan stabilitas sosial. Melalui digitalisasi arus dana, Beijing dapat menopang perekonomian domestik, mendukung industri militer, dan menghindari tekanan dari sistem global berbasis dolar.

Dalam konteks ini, digital yuan dan sistem pembayaran berbasis blockchain diposisikan sebagai senjata strategis. Proyek mBridge, yang menghubungkan sistem CBDC antarnegara termasuk Arab Saudi dan UEA, dirancang untuk menciptakan alternatif dari sistem SWIFT dan mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

Tren global pun menunjukkan penurunan dominasi dolar, seiring semakin banyak negara mencari jalur keuangan alternatif yang tidak terpengaruh oleh pengaruh geopolitik Barat. Di sisi lain, aset digital juga menjadi alat dalam konflik—dengan bursa yang disanksi seperti Garantex dan Nobitex tetap berperan besar dalam transaksi ilegal lintas batas.

Stablecoin Jadi Instrumen Konflik, Blockchain Mewujudkan Proyeksi Kekuasaan Baru

Kelompok-kelompok bersenjata seperti Hamas, Hizbullah, dan cabang ISIS kini memanfaatkan stablecoin seperti USDT di jaringan TRON untuk mengumpulkan dana secara global. Tindakan ini memicu respons dari otoritas Israel, yang kemudian membekukan jutaan dolar dari akun-akun yang terkait. Fenomena ini mencerminkan bagaimana teknologi keuangan digital—yang awalnya dipuji sebagai simbol kebebasan tanpa batas—telah berubah menjadi medan baru bagi kontrol negara dan penegakan hukum.

Dalam spektrum yang lebih luas, transisi ini mencerminkan pergeseran kekuatan dari senjata fisik ke dominasi digital. Jason P. Lowery, dalam bukunya Softwar, menyebut Bitcoin sebagai bentuk proyeksi kekuatan non-mematikan—sebuah sistem pertahanan digital yang dilindungi bukan oleh tentara, melainkan oleh energi listrik.

Pandangan ini juga memengaruhi kebijakan Tiongkok, yang melihat blockchain sebagai basis ketahanan dan strategi deterensi. Dengan menanamkan kendali moneter langsung ke dalam infrastruktur digital, negara bisa memperluas pengaruhnya—tidak melalui kekuatan militer, tetapi melalui jaringan teknologi.

Blockchain Bertransformasi dari Alat Keuangan Menjadi Infrastruktur Pertahanan

Tinjauan ilmiah yang diterbitkan pada 2025 di jurnal Technologies menyoroti peran strategis blockchain dalam dunia militer. Teknologi ini dinilai mampu memperkuat operasi militer melalui komunikasi terenkripsi, sistem logistik yang tidak dapat dimanipulasi, serta autentikasi yang tahan terhadap ancaman komputasi kuantum. Para peneliti menyimpulkan bahwa distributed ledger dapat meningkatkan ketahanan sistem komando dan rantai pasokan terhadap gangguan siber maupun serangan fisik.

Temuan ini memperjelas pergeseran fungsi infrastruktur kriptografi dari sekadar alat keuangan menuju instrumen pertahanan strategis. Di dalamnya terkandung tiga elemen vital: integritas data, fleksibilitas pendanaan, dan kepercayaan operasional—semuanya kini menjadi aset keamanan nasional.

Sementara itu, ketegangan geopolitik terus meningkat. Di saat negara-negara Barat berupaya membatasi peran militer dalam penggunaan aset digital, Tiongkok justru mengintegrasikannya dalam strategi kenegaraan. Ekonom Barry Eichengreen mengingatkan bahwa pengaruh geopolitik kripto bersifat ambivalen: tergantung siapa yang membentuk infrastrukturnya, kripto bisa menjadi ancaman terhadap dominasi dolar atau justru memperkuatnya.

Model Tiongkok yang menggabungkan kontrol ekonomi dengan kedaulatan teknologi menandai era baru dalam perebutan pengaruh global. Pertarungan kekuatan besar tak lagi hanya berlangsung di medan perang tradisional, melainkan juga di pasar keuangan, ruang siber, dan di dalam jaringan ledger terdistribusi yang menjadi tulang punggung tatanan digital masa depan.




Posting Komentar untuk "Crypto Digunakan Tiongkok untuk Kepentingan Geopolitik"