Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah Bitcoin Berpeluang Menjadi Alat Transaksi Resmi di Indonesia?

 

Apakah Bitcoin Bisa Jadi Alat Pembayaran di Indonesia? Simak Analisis Pakar Kripto Ini

Dalam beberapa tahun terakhir, nama Bitcoin terus mencuat, bukan hanya sebagai aset investasi, tetapi juga sebagai calon alternatif alat pembayaran global. Di Indonesia sendiri, diskusi mengenai kemungkinan Bitcoin menjadi alat pembayaran resmi semakin ramai, khususnya di dunia maya dan komunitas kripto. Namun, apakah Indonesia siap mengadopsi Bitcoin sebagai alat tukar yang sah?

Topik ini menjadi bahasan utama dalam episode kedua Podcast Kribo (Ngobrol Bareng BeInCrypto), yang mengundang Dimas Surya Alfaruq, Co-Founder Bitcoin Indonesia, untuk membedah peluang dan tantangan adopsi Bitcoin di Tanah Air. Dalam wawancara eksklusif tersebut, Dimas menyampaikan pandangannya soal masa depan Bitcoin di Indonesia dari sisi hukum, teknologi, dan edukasi publik.

Bitcoin: Aset Anti-Inflasi dan Simbol Kedaulatan Finansial

Menurut Dimas, Bitcoin bukan sekadar aset digital—ia adalah simbol dari kedaulatan finansial individu. Dengan sistem terdesentralisasi dan suplai terbatas (hanya 21 juta koin), Bitcoin memberikan kontrol penuh kepada pemiliknya tanpa campur tangan pihak ketiga, termasuk pemerintah atau bank sentral.

Hal ini jelas membedakannya dari mata uang fiat seperti Rupiah, yang setiap peredarannya berada di bawah kendali Bank Indonesia. Di tengah kekhawatiran terhadap inflasi dan fluktuasi nilai tukar, Bitcoin dianggap sebagai safe haven yang mampu menjaga daya beli dalam jangka panjang.

“Bitcoin itu bukan pengganti Rupiah, melainkan pelengkap. Sebuah instrumen penyimpan nilai yang aman dari intervensi dan inflasi,” ujar Dimas.

Rupiah Tetap Menjadi Alat Pembayaran Resmi

Meski begitu, Dimas menegaskan bahwa posisi Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia tidak akan tergeser. Hal ini telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menyatakan bahwa Rupiah adalah mata uang resmi di wilayah NKRI.

Artinya, meski Bitcoin memiliki keunggulan dalam hal penyimpanan nilai, fungsi sebagai alat pembayaran (medium of exchange) masih terbatas karena tidak diakui secara legal untuk transaksi jual-beli barang atau jasa di Indonesia.

“Rupiah tidak akan pernah tergantikan. Tapi dari sisi inovasi, Bitcoin bisa punya tempat sebagai cadangan nilai, alat investasi, bahkan instrumen tabungan digital,” tambahnya.

Kemajuan Regulasi Kripto di Indonesia

Di luar tantangan legal, Dimas memberikan apresiasi terhadap perkembangan regulasi aset kripto di Indonesia. Ia menilai bahwa pemerintah sudah menunjukkan langkah progresif dengan memindahkan pengawasan aset digital dari Bappebti (komoditas) ke OJK sebagai bagian dari sektor jasa keuangan digital.

Salah satu bentuk dukungan pemerintah adalah pengenaan pajak kripto yang relatif rendah. Tarif pajak final di Indonesia untuk transaksi kripto hanya sekitar 0,22%, jauh lebih kecil dibanding negara seperti Amerika Serikat, yang mengenakan pajak capital gain hingga 35%.

“Regulasinya sudah jauh lebih baik. Bahkan dalam hal perpajakan pun Indonesia cukup ramah terhadap kripto sebagai aset investasi,” ungkap Dimas.

Namun, tantangan terbesar saat ini justru datang dari sisi edukasi masyarakat. Banyak pengguna yang terjun ke dunia kripto tanpa pemahaman mendalam. Inilah yang menjadi alasan utama Dimas mendirikan Bitcoin Indonesia—organisasi nirlaba yang fokus menyebarkan edukasi dasar seputar Bitcoin dan teknologi blockchain secara gratis kepada masyarakat luas.

Stablecoin dan Masa Depan Digital Rupiah

Selain Bitcoin, diskusi juga mengarah pada potensi penggunaan stablecoin—aset digital yang nilainya dipatok pada mata uang tertentu, seperti Rupiah atau Dolar. Sayangnya, hingga kini, Indonesia belum memiliki regulasi komprehensif terkait stablecoin.

Namun demikian, Bank Indonesia telah memulai langkah awal dengan mengembangkan Central Bank Digital Currency (CBDC)—atau Rupiah digital—yang berjalan di sistem blockchain privat. Meski berbeda dari stablecoin yang biasanya bersifat publik dan diterbitkan oleh entitas swasta, langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai terbuka terhadap transformasi digital sektor keuangan.

Menariknya, Dimas mengusulkan model kerja sama antara pemerintah dan penerbit stablecoin swasta. Seperti yang dilakukan Tether (USDT) di Amerika Serikat, yang menggunakan surat utang pemerintah sebagai cadangan asetnya, stablecoin berbasis Rupiah juga bisa mendukung pembiayaan negara jika dirancang dengan baik.


Kesimpulan: Mimpi atau Realita?

Hingga saat ini, Bitcoin masih belum memenuhi syarat legal maupun teknis sebagai alat pembayaran resmi di Indonesia. Namun peranannya sebagai penyimpan nilai, instrumen investasi, dan simbol kebebasan finansial kian diakui.

Dengan regulasi yang semakin matang, pemahaman masyarakat yang terus berkembang, dan inovasi digital seperti stablecoin serta CBDC, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, Bitcoin dan aset kripto lainnya akan menjadi bagian penting dari sistem keuangan nasional—meski mungkin bukan sebagai alat bayar, melainkan sebagai pelengkap dan penopang stabilitas ekonomi digital.

“Yang kita butuhkan saat ini bukan pengganti Rupiah, tapi ekosistem digital yang adil, transparan, dan terbuka untuk semua,” tutup Dimas.



Posting Komentar untuk "Apakah Bitcoin Berpeluang Menjadi Alat Transaksi Resmi di Indonesia?"