Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akankah Rencana Anggaran Trump Memperburuk Masalah Utang AS?



RUU ‘Big Beautiful Bill’ Trump Tuai Sorotan Wall Street
Meski menekankan pentingnya disiplin fiskal, RUU usulan Trump diperkirakan akan menambah sekitar US$2,4 triliun pada defisit Amerika Serikat, yang saat ini sudah berada di level mengkhawatirkan—membuat pasar keuangan, terutama Wall Street, semakin waspada.

Di sisi lain, lonjakan imbal hasil obligasi dan meningkatnya keraguan terhadap obligasi AS sebagai aset safe haven turut menambah ketidakpastian.

Menurut Vincent Liu, Chief Investment Officer di Kronos Research, kondisi ini bisa memperkuat daya tarik Bitcoin sebagai lindung nilai. Namun, altcoin kemungkinan besar tidak akan mendapat dorongan serupa.


Visi Ekonomi Trump Dihadang Skeptisisme Awal
Pemerintahan Trump mengklaim bahwa One Big Beautiful Bill Act adalah langkah monumental yang akan memperbaiki arah fiskal AS secara signifikan.

RUU ini telah lolos di DPR pada Mei lalu dan kini menunggu keputusan di Senat. Isinya mencakup pemangkasan pajak dalam jumlah besar serta pengurangan anggaran untuk sektor kesehatan, bantuan makanan, dan energi ramah lingkungan.

Meski Gedung Putih menggambarkan RUU ini sebagai pemicu “era pertumbuhan ekonomi yang luar biasa,” banyak pihak tetap skeptis terhadap proyeksi tersebut.


Kecemasan Wall Street Meningkat Seiring Proyeksi Defisit US$2,4 Triliun dari RUU Trump
Selain kritikan keras dari Elon Musk yang menyebut RUU ini sebagai “kekejian menjijikkan,” sentimen negatif juga datang dari para pelaku pasar. Kekhawatiran utama mereka terpusat pada dampak potensial terhadap defisit fiskal AS yang sudah membengkak.

Angka yang Mengganggu: Proyeksi Kekurangan Anggaran
Laporan terbaru dari Congressional Budget Office (CBO) menunjukkan bahwa pemotongan pajak dalam RUU—yang mencakup insentif untuk tip, kerja lembur, dan manfaat bagi lansia—akan memangkas pendapatan negara hingga US$3,7 triliun.

Meski ini akan meningkatkan dana yang dibawa pulang oleh warga, potongan itu menimbulkan lubang besar dalam kas negara. CBO memperkirakan bahwa penghematan belanja sebesar US$1,3 triliun yang dijanjikan dalam RUU tidak cukup untuk menutup kekurangan tersebut, meninggalkan celah anggaran sekitar US$2,4 triliun selama dekade mendatang.

Risiko Defisit Meningkat dan Efek Domino Fiskal
Dengan pemotongan pajak yang lebih besar dari penghematan belanja, pemerintah harus meningkatkan utang untuk menutup kekurangan. Ini berarti menerbitkan lebih banyak obligasi, yang bisa mendorong naiknya imbal hasil serta memperketat kondisi ekonomi secara keseluruhan.

Vincent Liu dari Kronos Research menegaskan, “Ini adalah hukum ekonomi dasar—utang lebih banyak berarti lebih banyak obligasi, yang artinya imbal hasil naik dan tekanan fiskal bertambah.”

CBO juga mencatat bahwa utang tambahan dari RUU ini akan menambah sekitar US$551 miliar dalam pembayaran bunga dalam 10 tahun, di luar kewajiban bunga yang sudah ada. Ini menciptakan efek berantai: utang lebih banyak menghasilkan bunga lebih tinggi, yang kemudian memerlukan pinjaman tambahan.

Sinyal Bahaya dari Imbal Hasil Obligasi
Realitas ini sudah mulai tercermin dalam pasar obligasi. Kurang dari tiga minggu lalu, imbal hasil obligasi AS bertenor 30 tahun melampaui angka 5%—level tertinggi sejak Oktober 2023.

“Ketika yield 30 tahun menembus 5%, itu bukan sekadar angka teknis—itu adalah sinyal darurat,” kata Liu. Ia menambahkan bahwa beban bunga kini menjadi salah satu pos belanja pemerintah yang tumbuh paling cepat dan telah mendekati rekor sebagai persentase dari PDB, menyedot dana publik yang seharusnya digunakan untuk investasi jangka panjang.



Suku Bunga Tinggi Membebani Warga dan Ekonomi AS
Kenaikan imbal hasil obligasi berdampak langsung pada kehidupan masyarakat Amerika. Pinjaman umum seperti KPR, kartu kredit, dan kredit mobil menjadi lebih mahal karena suku bunga tersebut mengikuti pergerakan Treasury.

Kondisi ini berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi efek positif dari pemotongan pajak yang diusulkan. Tak heran, para investor mulai menunjukkan kekhawatiran mereka.

Pasar Mulai Kehilangan Kesabaran terhadap Beban Utang AS?
Setelah RUU anggaran versi Trump disetujui DPR pada 22 Mei, pasar saham menunjukkan reaksi negatif. Lelang obligasi pemerintah AS bertenor 30 tahun pun diterima dingin; investor menuntut imbal hasil lebih tinggi sebagai kompensasi atas risiko.

Kondisi ini berbeda dari masa lalu, di mana Wall Street cenderung lebih toleran terhadap defisit fiskal, terutama di era suku bunga rendah atau masa krisis.

“Kalau dulu pasar memberi kelonggaran pada Washington, sekarang mereka jauh lebih tegas,” ujar Vincent Liu dari Kronos Research. Menurutnya, beban utang yang terus membengkak tanpa alasan mendesak menjadikan investor lebih waspada.

Dampak Global dan Pergeseran ke Aset Kripto
Liu menambahkan bahwa tekanan fiskal AS juga meningkatkan biaya pinjaman secara global dan berdampak pada ekonomi negara-negara berkembang serta pemegang cadangan dolar AS.

Situasi ini mendorong sebagian investor mencari alternatif. Bitcoin, sebagai aset lindung nilai, mungkin jadi pilihan utama. Namun, altcoin kemungkinan akan tertinggal karena dianggap lebih berisiko dan kurang stabil.

“Bitcoin bisa mendapatkan momentum di tengah ketidakpastian, tapi altcoin kemungkinan akan terpukul,” jelas Liu.

Jika RUU ini lolos di Senat tanpa banyak perubahan, pergeseran minat investor ke aset digital bisa jadi makin nyata—terutama jika kekhawatiran terhadap stabilitas fiskal terus meningkat.



Posting Komentar untuk "Akankah Rencana Anggaran Trump Memperburuk Masalah Utang AS?"